Imabapost.com : Fokus perhatian publik belakangan ini tertuju pada situasi negara yang semakin memprihatinkan, terutama terkait dengan permasalahan keadilan yang belum terselesaikan. Keadilan yang sering digaungkan sebagaimana tertera pada sila ke-lima kita sepertinya kini hanya menjadi pelengkap dan pemanis saja pada konstitusi kita. Baru-baru ini kita dihadiahi sebuah kresek hitam yang gelap dari teman-teman yang ada di DPR sana.
Putusan Mahkamah Konstitusi, yang semestinya menjadi benteng terakhir keadilan, kini telah ternodai. Keputusan tertinggi negara ini seakan-akan menjadi mainan bagi mereka yang haus kekuasaan. Dengan entengnya, mereka mengubah-ubah aturan main, bagai anak kecil yang mengganti aturan permainan di tengah jalan. Akibatnya, seluruh rakyat Indonesia yang seharusnya menjadi raja di negaranya sendiri, justru menjadi korban dari permainan kekuasaan ini..
Sama seperti makanan yang perlu proses pencernaan sebelum menjadi nutrisi, undang-undang juga memerlukan proses pematangan melalui kajian yang mendalam sebelum menjadi aturan yang bermanfaat. Undang-undang yang dibuat dalam waktu satu hari jelas mustahil ada sosialisasi rancangannya. Belum lagi dengan naskah akademik yang menjadi pokok bahasan di dalamnya. Jelas ini bukan hal yang wajar bagi kita, mereka dan semuanya.
Hegemoni dinasti yang lambat laun semakin jelas ini cukup memberikan efek yang eksplosif bagi tatanan konstitusi dan masyarakat kita. Sisa masa kekuasaan Jokowi yang seharusnya dijadikan evaluasi dan penyempurnaan kinerja malah disalahgunakan sebagai jurus aji mumpung untuk mendapatkan segala benefit yang bisa didapat selagi berkuasa. Termasuk anak dari Jokowi sendiri, Kaesang yang rencananya akan dicalonkan pada pilkada nanti padahal tidak memenuhi kualifikasi berdasarkan putusan MK.
Terdengar tidak adil ketika masyarakat kita mencari pekerjaan dihadapkan dengan peraturan batasan usia. sementara itu anak presiden dengan mudahnya akan mencalonkan diri di pilkada nanti tanpa batasan apapun. Tidak cukup sampai disitu, pencalonan tersebut juga merupakan hasil dari perusakan dan pembangkangan konstitusi.
Bukankah lucu ketika kita jauh-jauh berjalan ke TPS hanya untuk menyumbangkan suara kita cuma-cuma demi calon yang melawan kotak kosong. Itu sama saja dengan kita berjalan di tempat.
Suara-suara keberatan mulai terdengar, namun masih banyak yang memilih bungkam. Entah karena takut akan konsekuensinya atau sudah terlalu lelah untuk peduli. Tapi perlu digarisbawahi bahwa Indonesia tidak akan pernah menjadi emas jika terus dipimpin orang culas.
Penulis : Taretan Jailani
(Kader Aktif Imaba IAIN Madura)