Notification

×

Iklan

Iklan

Penculik Anak

Sabtu, 10 Februari 2024 | 12.43 WIB | 0 Views Last Updated 2024-02-10T05:43:47Z


 Penculik Anak


Cerpen Suhairi*


Ibu-ibu itu ngobrol di dekat pagar rumahku, sambil menjinjing sayur yang baru dipetik di kebun. Ekspresinya seakan mengabarkan rasa takut yang sangat mendalam. Ibu yang memakai baju merah, sesekali melihat ke persimpangan jalan, seakan memastikan tak ada siapa-siapa yang datang. Sedangkan suara ibuku sengaja diperkeras, tidak sebagaimana biasanya. Aku mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Setelah selesai ngobrol tentang penculikan anak, mereka tergesa-gesa pergi, meninggalkan tempat itu.


Ibuku mempercepat langkah, memasuki halaman rumah, setelah mengunci pagar yang terbuat dari bambu. Di kamar, ia menyapukan pandangannya, memastikan, apakah aku berada di kamar atau pergi ke luar rumah bersama teman sebaya. Setelah mengetahui keberadaanku di dekat jendela, ia memperlambat desah napasnya, seraya meletakkan sayur di atas lincak. 


”Ayo tidur, tidak usah ke mana-mana!” Ujar ibu sambil mengambil bantal berwarna biru di ujung lincak. Tanpa memberi waktu berfikir, ibu menarik tanganku seakan ingin mengumpat dari seorang penculik. "Walaupun tak ngantuk, tidurlah! Nanti kau pasti tidur pulas. Sebelum azan Maghrib, nanti ibu bangunkan.”


Aku menarik selimut sampai ke bagian dada sebelah atas, memejamkan mata, lalu pura-pura tidur. Ibu melangkah pelan, keluar dari kamarku. Tetapi, aku masih mendengar langkah kaki ibu yang sengaja dipelankan. Krek! Pintu tertutup rapat. Setelah itu, aku tidak tahu ke mana ibu pergi.


Aku seperti dikurung dalam sebuah sel tahanan. Beberapa suara orang tua terdengar di warung kopi Mak Inah, yang jaraknya hanya puluhan depa dari rumahku. Bahan pembicaraannya sama dengan pembicaraan ibu-ibu di luar pagar halaman rumah tadi. Tetapi, perbincangan para pengunjung warung itu lebih berani, tidak menampakkan rasa takut. Sesekali mereka tertawa agak keras, terdengar jelas hingga di kamar ini.


Aku bangkit dari tempat tidur, lalu menghempaskan selimut. Ah, bagaimana aku harus pakai selimut di siang bolong, di saat udara panas. Aku kembali berdiri, menempelkan telinga pada jendela kamar, atau mengintip orang-orang yang lewat di jalan setapak, di depan rumah. Sesekali aku harus melihat kamar ibu yang bersebelahan dengan kamarku. Jika ibu tahu bahwa aku tidak tidur siang, pasti ia marah dan memaksaku kembali ke tempat tidur. Bagaimana aku bisa tidur sedangkan perasaanku seakan diintip seorang penculik yang kini menjadi perbincangan banyak orang?


Dari jendela kamar, aku melihat seseorang melintas di jalan setapak di depan rumah. Aku tidak tahu pasti siapa orang itu; memakai baju kotak-kotak hitam, bercelana coklat lusuh, memegang besi bengkok seukuran 50 centi meter, menggunakan tutup muka, dan menggendong karung. Ia berjalan tidak terlalu cepat. Pandangannya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti ada yang dicari. Sesekali berhenti dan membungkukkan tubuhnya. Tidak seberapa lama ia pergi, setelah menoleh ke belakang beberapa saat.


Tubuhku panas dingin. Ingin rasanya aku memanggil ibu dan mengabarkan bahwa ada penculik anak di depan rumah. Aku urungkan niatku, khawatir ibu marah karena aku tidak tidur siang. Aku manarik tubuhku ke belakang agar penculik itu tidak melihatku yang mengintip dari jendela kamar. Lalu muncul pertanyaan di benakku, mengapa orang-orang yang ada di warung itu tidak menangkap penculik itu, lalu menghakiminya bersama-sama, agar penculik lainnya tidak berani memasuki kampung ini?


Ah, pasti bukan itu penculiknya. Penculik seperti itu hanya menurut versi teman-teman sebayaku. Tanda utamanya adalah karung. Penculik itu selalu membawa karung. Karung itu bisa memuat sepuluh kepala anak. Wuih, betul-betul menakutkan. Yah, sekali lagi, itu menurut versi teman-temanku. 


******

"Tadi pagi ada penculik kepala anak, lewat di samping kiri sekolah,” kata Anton, teman sekelasku di Sekolah Dasar.


”Iya, betul. Penculiknya membawa karung yang berisi kepala anak-anak,” Rizal menimpali.


”Untung tadi tidak ada teman-teman yang main di luar sekolah,” Ratih juga menyambung pembicaraan.


Angin berhembus pelan. Kami saling tatap. Wajah-wajah kami menyimpan rasa takut yang sulit dihapus dari ingatan. Mungkin saja penculik itu tiba-tiba menarik anak yang sedang keluyuran seorang diri, mencekik lehernya, lalu memenggal kepala dengan sebilah pisau tajam, dan memasukkan potongan kepala itu ke dalam karung. Setelah itu, ia akan pergi dengan langkah biasa, tanpa mempercepat langkah kaki agar orang-orang tidak mencurigainya.


”Bukan seperti itu penculiknya,” gumamku pada diri sendiri. Aku tidak berani mengungkapkan kata-kata itu di depan Anton, Rizal, dan Ratih. Pendapatku pasti tidak diterima oleh mereka yang masih berdebat secara alot tentang ciri-ciri penculik. Jika aku memaksakan berpendapat, berarti aku harus berdebat satu banding tiga. Jelas, alasan yang kuajukan tidak akan menang. ”Jangan-jangan, mendiang ayahku juga seorang penculik?”


Sepulang dari sekolah, aku langsung menuju sebuah kamar tempat menyimpan barang-barang. Di sana aku menemukan peninggalan mendiang ayah berupa baju, celana kusut, kain penutup wajah, besi bengkok seukuran 50 centi meter, dan sebuah karung. Karung itu sangat kotor dan tidak berisi apa-apa, kecuali seikat rambut sebesar genggaman tangan orang dewasa. Betulkah ayahku juga seorang penculik?


”Mendiang ayahmu bukan seorang penculik. Penculik itu tidak seperti itu. Penculik itu membawa sebuah alat musik sambil memikul gerobak terbuat dari kayu. Anak-anak yang sering keluar rumah akan dipenggal kepalanya dan dimasukkan ke dalam gerobak itu,” ibuku meyakinkan pendapatnya seraya menggerak-gerakkan tangannya agar ceritanya itu bisa diterima.


”Itu kan penjual arum manis, Bu?” Aku membantah penjelasan ibu.


”Kata siapa?” Ibu langsung menaikkan nada suaranya sambil berkacak pinggang.


Aku baru ingat. Beberapa minggu yang lalu, aku berlari kecil, menemui bapak tua yang sedang memikul gerobak kayu. Ia berhenti persis di dekatku seraya memainkan alat musik gesek yang mirip biola. Aku menatap bapak tua itu. Ia tersenyum tipis. Tidak seberapa lama, Anton, teman sekolah, muncul dari ujung jalan. Ia bersama ibunya menghampiri bapak tua tadi seraya menjulurkan beberapa uang receh. 


Bapak tua itu menghentikan permainan musiknya, meletakkannya di sebelah kanan gerobak. Tanpa bercakap panjang, Anton dan ibunya pergi sambil memegang bungkusan yang diberi bapak tua tadi. Aku berlari kencang sambil memanggil-manggil ibu yang ada di rumah. 


”Bapak tua itu tidak menjual apa-apa. Ia seorang penculik anak. Coba perhatikan! Ujung atas gerobak itu belepotan warna merah. Itu darah. Darah anak-anak yang dipenggal kepalanya. Untung kamu tadi tidak disakiti oleh bapak itu. Ayo, cepat masuk kamar!” Pinta ibu seraya menarik tangan kananku.


Ah, ibuku mungkin lupa. Pada suatu senja, di saat anak-anak mulai menyiapkan diri mengaji di musala Kiai Ahmad, datanglah bapak tua itu ke halaman rumahku. Ia memainkan alat musik setelah meletakkan gerobak kayu. Sambil berdiri, ia memainkan alat musik itu dengan khusuk. Terlintas di benakknya anak dan isteri yang sedang menunggu di rumah. Angin yang bertiup pelan seakan membawa kabar kepada mereka bahwa arum manis yang ia jual masih belum laku semua. Maka, pada senja itu, ia harus berkeliling kampung, memainkan alat musik, mengetuk hati anak-anak agar mau mendekat dan menikmati arum manis buatannya itu.


Ibuku tidak punya banyak alasan untuk tidak membelikanku arum manis. Tergesa ia menuju petarangan ayam. Diambilnya satu butir telur lalu dijual ke Mak Inah, di warung kopi, dekat rumahku. Tak lama, ibu kembali dengan menggenggam beberapa uang receh. 


Lelaki tua itu masih berdiri seakan memahami keinginan ibuku. Lelaki itu tidak beranjak pergi sebelum ibu datang dan menjulurkan uang receh. Air liurku nyaris berlompatan sebelum mencicipi arum manis berwarna merah itu. 


”Bapak tua itu penculik kepala anak,” ibu menyadarkan lamunanku. ”Alat musik itu untuk memancing anak-anak agar mau datang menghampirinya. Jika anak kecil datang sendirian, bapak itu akan menarik tangan anak kecil, mengambil pisau, lalu memenggal kepalanya,” ujar ibu bersemangat. ”Kamu jangan percaya begitu saja sama bapak tua itu.”


Kali ini, ibuku tidak memenuhi permintaanku. Aku berlari menuju kamar, membanting tubuhku ke atas kasur. Tangan kananku menjamah bantal lalu menutup wajahku rapat-rapat. Suara tangisku sengaja tak kunyaringkan agar ibu mengetahui betapa jengkelnya aku saat itu. Sesekali aku menghentikan tangisku untuk menelan air mata yang menyentuh ujung lidah.


Ketika ibu mendekatiku lalu membujukku agar berangkat ke musala untuk mengaji Al-Quran, aku semakin menaikkan suara tangis sambil mendekap erat bantal yang kuletakkan di wajahku. Sesekali aku mengancam ibu, jika tidak dibelikan arum manis, besok aku tidak akan masuk sekolah. Aku akan tidur seharian hingga senja tiba. 


*****


Aku tertawa geli ketika mengingat cerita itu, sekitar 30 tahun silam. Aku kembali membuka laptop, mencari berita aktual seputar penculikan anak, yang konon sudah sampai di kampung ini. Tidak seberapa lama, berita heboh muncul di desa sebelah, seorang pemuda mabuk dihakimi warga karena diduga ingin menculik siswi yang pulang dari sekolah. Setelah diinterogasi, pemuda itu mabuk akibat mengkonsumsi obat batuk satu box berisi 10 bungkus.


Aku tidak menemukan berita penculikan di Pamekasan yang konon nyaris memakan korban siswa Madrasah Ibtidaiyah. Aku sempat menelepon teman yang dekat dengan rumah korban. Menurut pengakuannya, korban diiming-imingi uang seratus ribu asal mau dibonceng. Untung, korban sempat menolak dan lari menjauh. Beberapa orang menghampiri anak itu dan berusaha mengejar si pelaku. Ah, aku tidak yakin dengan kabar ini. Sebab, temanku itu memang paling jago mendramatisir keadaan.


”Adi, ambilkan ayah air mineral di kulkas,”pintaku pada anak pertamaku.


”Sebentar, Yah. Nunggu iklan dulu. Ceritanya sangat asyik,” sahut anakku seraya menatap layar televisi yang ada di depannya.


”Rani, tolong ambilkan ayah bolpen di atas meja, di ruang tengah,” aku meminta Rani agar mengambilkan bolpenku.


”Iya, Yah. Tapi ntar lagi, ya. Rani masih main game. Nanti kalau Rani menang, akan Rani ambilkan.”


Aku menyandarkan tubuhku ke belakang seraya menarik napas panjang. Aku memainkan mouse laptop dan memindahkan kursor. Ada beberapa berita penculikan yang tertera di layar laptop. Ternyata, isinya tetap sama; sekadar isu. Kursor kupindah, mouse kutekan satu kali. Klik! Kembali tentang berita penculikan. Isinya? Sama dengan yang tadi. Hanya sebuah isu. Kubuka berita yang lain, hingga beberapa kali.


Tenggerokanku semakin haus. Adi bergeming, tak mau beranjak dari depan televisi. Sedangkan Rani masih asyik bermain game. Aku menatap mereka dalam-dalam. Mereka seakan-akan tidak hidup di rumah ini. Mereka hidup di alamnya masing-masing. Aku hanya bergumam, ”Penculik itu betul-betul ada di antara kita.” 



*Suhairi adalah Alumnus Pondok Pesantren Mambaul Bata-Bata Pamekasan Madura. Selain bekerja sebagai asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, dasar, dan Pendidikan Menengah (BAN PDM) Provinsi Jawa Timur, ia juga mengajar di IAIN Madura.

×
Berita Terbaru Update